Jumat, 07 Maret 2014

PASUKAN SILIWANGI HIJRAH KE JAWA TENGAH



PASUKAN SILIWANGI HIJRAH KE JAWA TENGAH



Disaat perjuangan perlawanan terhadap Belanda di Jawa Barat sedang memuncak dan inisiatif ditangan Indonesia, pihak Belanda sekali lagi memaksa diadakannya perundingan yang diselenggarakan diatas Kapal “Renville” yang sedang berlabuh di teluk Jakarta pada tanggal 17 Januari 1948. Isi perjanjian Renville itu antara lain adalah bahwa : Mengharuskan pasukan Siliwangi Hijrah ke Jawa Tengah ke daerah-daerah yang masih di kuasai oleh RI. Dipandang dari segi Politik, secara militer dan segi ekonomi sangat merugikan Republik Indonesia khususnya TNI.
Dari segi politik persetujuan Renville tersebut berarti pengakuan RI secara “De Jure” atas kedaulatan Kerajaan Belanda atas tanah air kita. Sedangkan dipandang secara militer perjuangan itu berarti menyerahkan kantong-kantong gerilya kita yang tidak dapat direbut Belanda itu kepada pihak Belanda sehingga kita menjadi terkepung. Dipandang dari segi ekonomi persetujuan itu berarti kita menerima keadaan bahwa semua kota-kota besar, pusat-pusat produksi dan perdagangan keluar, telah berada pada tangan Belanda, ekonomi kita berada dalam keadaan terkepung, terblokade dan terjepit.
1 Februari 1948, di Cirebon, ribuan tentara dari Jawa Barat mulai bergerak meninggalkan daerah Jawa Barat menuju Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kepindahan besar-besaran ini kelak masyhur disebut sebagai Hijrah Divisi Siliwangi.

 
 

 Sebagian anggota Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah melalui laut. Mereka diangkut dari pelabuhan Cirebon menuju pelabuhan Rembang. Sebagian lagi diangkut lewat kereta api. Anggota Siliwangi yang dikirim lewat kereta berkumpul lebih dulu di stasiun Parujakan (1 km sebelah selatan dari stasiun Cirebon sekarang) untuk diangkut ke Yogya.
Hijrah merupakan konsekuensi kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Belanda pada Perundingan Renville. Salah satu klausul kesepakatan menyebutkan pemerintah Indonesia harus mengosongkan daerah-daerah yang masuk Garis van Mook, di antaranya Jawa Barat. Itu artinya, tentara dan aparat pemerintahan harus hijrah ke wilayah resmi Indonesia yang hanya meliputi Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, sebagian keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal bagian selatan dan Banyumas.
Selain Divisi Siliwangi, tentara Indonesia di daerah lain yang masuk garis van Mook juga harus pindah. Di Jawa Timur, sekira 6000 tentara harus hijrah ke daerah Indonesia. Sementara di Sumatera tidak banyak yang harus dihijrahkan karena pasukan Indonesia yang berada di daerah van Mook tidaklah banyak. Pasukan Siliwangi menjadi pasukan hijrah terbanyak.
Sebenarnya, di kalangan tentara Indonesia telah timbul rasa kecewa terhadap perintah hijrah tersebut. Cukup banyak tentara Indonesia yang bahkan meminta berhenti sebagai protes. Pada 9 Januari 1948, Letnan Oerip Soemohardjo dan Didi penasehat militer delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville sudah menentang keras ultimatum yang dikeluarkan van Mook. Oerip Soemohardjo bahkan sempat mengundurkan diri sebagai bentuk pernyataan protes.
Kendati demikian, hijrahnya Divisi Siliwangi ini bukannya tak memunculkan polemik. Ketika pemerintah melansir reorganisasi militer Indonesia yang memangkas nyaris separuh jumlah tentara Indonesia. Sehingga sebagian dari pasukan Siliwangi yang turut hijrah pun terpaksa tidak dapat masuk formasi dan akhirnya hidup terkatung-katung di tanah rantau. Beleid itu memunculkan perlawanan dan protes dari banyak kalangan, termasuk dari beberapa komandan batalyon yang berbasis di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pasukan Siliwangi adalah pendukung utama beleid rasionalisasi itu sehingga kekuatan antara yang pro dan kontra rasionalisasi menjadi lebih seimbang. Pasukan Siliwangi, yang lebih lengkap persenjataannya dan relatif lebih disiplin dan modern, menjadi pasukan elit yang tampak diistimewakan, terlebih konsep dan cetak biru rasionalisasi memang disusun berdasarkan gagasan Nasution. Muncul rasa tidak puas dan kecemburuan dari beberapa batalyon yang harus kehilangan banyak tentaranya akibat program rasionalisasi tersebut.
Pada saat menjelang hijrah unsur-unsur pimpinan Divisi Siliwangi terdiri dari : Panglima Divisi Kolonel A.H. Nasution, Kepala Staf Kolonel Hidayat, Komandan Brigade-I/Tirtayasa di Banten Letkol Dr. Arie Sudewo yang menggantikan Letkol Suganda Brata Manggala, Komandan Brigade-II/Suryakencana di Sukabumi Letkol A.E. Kawilarang. Komandan Brigade-III/Kiansantang di Purwakarta Letkol Sidik Brata Kusumah, Komandan Brigade-IV/Guntur di Bandung Selatan Letkol Daan Yahya. Komandan Brigade-V/Sunan Gunung Jati di Cirebon Letkol Abimanyu.
Didalam melaksanakan perintah Hijrah dari pemerintah pusat tidak semua unsur jajaran Divisi Siliwangi digerakkan berhijrah. Misalnya Brigade-I/Tirtayasa tidak disertakan dalam gerakan hijrah, karena masih menguasai keadaan sepenuhnya. Demikian pula berbagai unsur badan perjuangan ada yang tinggal di Kampung halaman, akibat dari adanya perintah hijrah ini pasukan Siliwangi/Divisi Siliwangi kehilangan kesempatan untuk mencicipi kemenangan dalam menanggulangi agresi Militer Belanda yang pertama di Jawa Barat, tetapi juga menyebabkan Divisi Siliwangi tersebar dan harus terlempar dari kampung halamannya sendiri.
Pada tanggal 22 Pebruari 1948, telah selesai dihijrahkan kurang lebih 29.000 prajurit Siliwangi meninggalkan kantong-kantong gerilya di Jawa Barat. Route perjalanan hijrah terbagi dua jalur yaitu melalui jalan darat dengan menggunakan kereta api dan melalui laut dengan kapal laut.


Setelah hijrah, lalu datang perintah adanya rekonstruksi dan rasionalisasi untuk ketigakalinya bagi Siliwangi. Ini dirasakan berat bagi Siliwangi terutama bagi anggota yang tidak masuk dalam formasi sehingga harus berpisah dengan teman sejawat dan pimpinan yang dicintainya. Akibat kesedihan dan cobaan yang cukup berat melahirkan lagu yang kemudian menjadi Mars Siliwangi, yang terus dilantunkan selama hijrah. Lagu Mars Siliwangi ini bukanlah ciptaan satu orang tetapi hasil karya dari beberapa orang. Ide untuk menciptakan lagu ini datang dari Kapten Cecep Aryana (Perwira Staf Divisi Siliwangi) dan Letnan Sunar Pirngadi, ide tersebut muncul disaat berada di kapal MS Plancius yang mengangkut sebagian prajurit Siliwangi yang melaksanakan hijrah ke Jawa Tengah.
Divisi Siliwangi yg berbasis gerilya di Jawa Barat harus pergi meninggalkan basisnya dan pergi ke daerah Republik. Perintah ini tidak bisa ditawar. Mereka harus mematuhi perintah Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi TRI. Bukan karena kalah berperang melawan Belanda, melainkan akibat para politikus yang kalah berunding dengan Belanda di atas kapal USS Renville.
Pasukan Siliwangi yang diangkut dengan kereta api dan kapal laut melalui embarkasi Cirebon. Menyedihkan, karena sebagai tentara mereka diangkut tanpa membawa senjata. Persenjataan dikirimkan terpisah untuk menghindarkan bentrokan dengan pihak Belanda. Serdadu yang naik kereta api berakhir di Gombong sedangkan yang menggunakan kapal laut, berakhir di Rembang.
Setelah itu mereka disebar ke daerah Solo, Yogyakarta dan Magelang dan ditetapkan sebagai pasukan cadangan. Namun semuanya bisa terangkut kereta api dan kapal laut, sebagian ada yg pergi berjalan kaki menuju daerah-daerah Jawa Tengah. “Itulah hijrah Siliwangi, mengalah untuk menang,” kata Presiden Soekarno tentang peristiwa pada Februari 1948 tersebut.
Tentara Siliwangi tidak disediakan asrama selayaknya anggota militer, tetapi ditempatkan di bekas pabrik-pabrik gula yang banyak terdapat di sana. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya mempengaruhi sikap sehari-hari mereka. Namun, hal itu tidak dijadikan sebuah penghalang karena kedatangan mereka untuk mematuhi perintah para pemimpinnya. Dan, yang terpenting untuk menegakkan proklamasi Kemerdekaan yang sedang diusik kembali oleh Belanda.
Melawan kawan
Pada Juli 1948, saat itu terjadi kekisruhan politik. Dua partai politik, yakni PNI dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) menjatuhkan Kabinet Amir Syarifudin. Setelah peristiwa itu dibentuklah Kabinet Hatta. Amir Syarifuddin yg tidak puas, kemudian menjadi oposisi dengan menggandeng tokoh komunis Muso. Saat itu, Muso baru kembali dari Rusia setelah kabur, seusai pemberontakan PKI pada 1926.
Mereka meleburkan partai2 dan organisasi2 berhaluan komunis dan sosialis, seperti PKI, PSI, Pesindo, PBI (Partai Buruh Indonesia), SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) , BTI (Barisan Tani Indonesia) ke dalam Front Demokrat Rakyat (FDR).
Agitasi mereka ke berbagai golongan rakyat, termasuk ke dalam militer sangat intens. Padahal di sisi lain pada era itu, setiap parpol memiliki laskar bersenjata masing2. Perang opini dan salin tuduh sebagai antek penjajah masing2 dilontarkan oleh para politikus di surat kabar dan radio. Perang opini itu, terutama antara golongan republiken dengan kaum komunis/sosialis.
Kekacauan-kekacauan mulai timbul dimana-mana dan berpusat di Surakarta. Pada tanggal 13-16 September 1948 di Sala terjadi insiden antara TNI-AD dengan Tentara Laut RI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Yadau yang menjadi pengikut setia dari pada PKI yang dikuasai oleh Muso. PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) yang tergabung dalam FDR, pada tanggal 14 September tiba-tiba menyerang Barisan Banteng di Sala karena Dr. Muwardi,  Pemimpin barisan Banteng, dengan tegas menolak untuk bergabung dengan PESINDO. Insiden-insiden itu baru dapat dihentikan setelah Putera-putera Siliwangi turun tangan dan menganjurkan kedua-belah pihak untuk mentaati TNI. Anjuran ini di terima dengan baik oleh Barisan Banteng, akan tetapi ditolak oleh pihak PESINDO. Bahkan mereka telah bertindak lebih lanjut lagi dengan membangkang terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak Siliwangi yang terpaksa mengambil tindakan-tindakan yang tegas dengan mengakhiri semua aktifitas dari PESINDO.
Berdasarkan dokumen-dokumen yang berhasil disita oleh pihak Republik Indonesia ternyata, bahwa dengan perantara orang-orang yang berkedudukan tinggi pihak PKI dengan FDR-nya telah lama berusaha untuk mempengaruhi Angkatan Perang Republik Indonesia. Dalam usaha mempengaruhi anggota-anggota Angkatan Perang RI, penghasut-penghasut PKI itu menggunakan sentimen yang ada didalam Angkatan Perang (seperti ketidak-puasan mengenai RE/RA) serta keadaan ekonomi yang kurang memuaskan ketika itu. Bila pasukan-pasukan TNI berhasil mereka pengaruhi, maka mereka akan dipergunakan sesuai dengan rencana yang telah mereka buat, ialah merebut kekuasaan dari tangan Pemerintahan Republik Indonesia yang syah.
Saat itu, di kota Solo ada beberapa batalion tentara dari Brigade Panembahan Pasopati yang sudah masuk ke dalam perangkap FDR. Juga batalion dari ALRI pimpinan Yadau. Muso dkk memperhitungkan bahwa pasukan Siliwangi akan menjadi pengacau rencana mereka mengadakan coup terhadap Presiden Soekarno.
Muso pun menghasut dengan dengan membuat istilah bahwa Siliwangi yang disingkat SLW adalah akronim dari Stoot Leger Wilhemina alias Tentara Pemukul Wilhemina/Ratu Belanda. Tujuannya supaya rakyat membenci pasukan Siliwangi. Saat itu, Siliwangi merupakan pasukan elite dibandingkan divisi lainnya di Indonesia.
Memang, kala itu hampir kebanyakan perwira dan prajurit dari Siliwangi fasih berbahasa Belanda karena mereka terbiasa memakainya sewaktu di Jawa Barat. Namun, hal itu dijadikan sebagai alat fitnah yang menguatkan akronim gelar sindiran tersebut.
Bermula dari hilangnya empat orang perwira Panembahan Senopati yang menuduh bahwa Siliwangi-lah pelakunya. Tudingan itu membuat tentara dari solo mulai melakukan manuver provokasi kepada Siliwangi, sesuai dengan rencana komunis bahwa Solo akan dijadikan daerah yang kacau (wild west). Akibatnya, terjadi bentrokan antara batalion 1 Rukman dari Brigade Sadikin dengan pasukan lokal pada 24 Agustus 1948 di Tasikmadu Solo.
Kekuatan empat batalion dari pasukan lokal melawan satu batalion Siliwangi, hasilnya tujuh orang pihak penyerang tewas di tempat dan belasan luka-luka. Sedangkan batalion Rukmana dari Siliwangi malah selamat tanpa jatuh korban tewas.
Mayor Slamet Riyadi sebagai komandan dari Brigade Panembahan Senopati memberikan ultimatum kepada Letkol Sadikin dari Siliwangi untuk segera menyerahkan perwira-perwiranya yang hilang itu. Sadikin yang merasa tidak ada buahnya yang melakukan penculikan, berkeras untuk tidak mematuhi ultimatum tersebut. Peristiwa tersebut membuat Panglima Besar Soedirman turun tangan mendamaikan dua pasukan yang bertikai tersebut..
Namun tetap saja ada kebuntuan karena satu pihak menuduh, sementara pihak lain merasa tidak melakukannya. Kebuntuan itu mengakibatkan keadaan memanas dengan terjadi penyanderaan kendaraan Siliwangi di jalan2 kota Solo. Hal ini dibalas serupa oleh Siliwangi dengan penyanderaan dan penggeledahan sampai ke garasi2 kendaraan Senopati.
Keadaan seperti itu diperparah dengan penyerbuan markas staf Kwartier Brigade Sadikin oleh tentara Solo yang saat itu hanya dijaga dua kompi pasukan, dipimpin Kapten Oking. Letkol Sadikin meradang, ia memberikan perintah kepada Brigade2 Siliwangi di Yogyakarta dan Magelang untuk siap tempur.
Langkah awal adalah memberikan tugas kepada kompi Lukas dan Oking masuk kota Solo secara gerilya melewati jalan2 kecil untuk melucuti pasukan Senopati yang terlihat. Dalam beberapa jam batalion2 Siliwangi telah mengepung dan menguasai Solo dari berbagai jurusan. Pasukan Panembahan Senopati lari ke luar kota.
Keadaan ini memprihatinkan petinggi militer di Yogyakarta sehingga Jenderal Soedirman datang langsung ke rumah dinas Letkol Sadikin di Solo untuk menghentikan kisruh ini. “Kami diserang duluan, terserah pihak penyerang maunya seperti apa?”, kata Sadikin kepada Jenderal Soedirman.
Merasa tak berhasil mengatasi sendiri, akhirnya Soedirman memanggil Kolonel AH Nasution, mantan panglima Siliwangi yang saat itu telah menjadi wakil panglima besar. Soedirman minta Nasoetion untuk mengeluarkan Siliwangi dari Solo. Nasoetion yang datang bersama Letkol Abimanyu mengatakan, mengeluarkan Siliwangi dari Solo adalah hal mudah. Namun, jika mereka ramai-ramai kembali ke Jawa barat, artinya melanggar perjanjian Renvile. Buntutnya, justru akan memberi kesempatan kepada tentara Belanda untuk melakukan agresi militernya dengan dalih ada pasukan republik yang melanggar garis demarkasi. Panglima Soedirman bisa memahami alasan tersebut. Ia kemudian menyerukan perdamaian tanpa ada pihak yang menuntut. Akhirnya diangkat Kol. Gatot Soebroto sebagai panglima komandemen daerah Solo untuk memulihkan keamanan.
Namun, sebelum kondisi Solo benar-benar pulih, pada 18 September 1948, Muso dkk mengumumkan pemberontakan PKI di Madiun untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno-Hatta dan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia – Sovyet Republik pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, dengan mendapat backing dari batalyon Brigade 29. Pemberontakkan dilakukan pada 02.00 sedangkan batalyon-batalyon yang turut dalam pengkhianatan itu adalah :
a. Batalyon Musyofa di kota Madiun
b. Batalyon Mursid di Saradan
c. Batalyon Darmintoaji di Ngawi
d. Batalyon Panjang Jokopriono di Ponorogo
e. Batalyon Abdulrakhman dan susulan dari Kediri
f. Batalyon Maladi Yusuf yang beroperasi Ponorogo dan Sumoroto
Dalam gerakannya di kota Madiun, mereka memusatkan serangannya terhadap Markas CPM Siliwangi di Jalan Dr, Cipto yang menyebabkan gugurnya seorang Mayor CPM setelah terjadi perlawanan sengit. Pada tanggal 19 September 1949 pukul 09.00 pihak pemberontak berhasil menguasai markas-markas SPDT, STM Madiun, Batalyon CPM dan tangsi Polisi. Setelah itu mereka menangkapi para Perwira TNI-AD serta pemimpin-pemimpin lainnya yang menjadi lawan mereka. Satuan-satuan TNI-AD yang tetap setia kepada RI di Ponorogo dan Ngawi, berhasil untuk kemudian mengatur siasat lebih lanjut guna menghantam pihak pemberontak. Pasukan-pasukan TNI-AD yang berada di Magetan pun meloloskan diri dari ancaman pihak komunis untuk kemudian bersama-sama dengan kadet-kadet dari Akademi Militer yang berada di Sarangan membentuk suatu pertahanan yang mengurung keresidenan Madiun di lereng Gunung Lawu. Para pemimpin Pamongpraja yang berhasil ditangkap oleh pihak PKI, dibunuh di luar batas perikemanusiaan. Nasib yang sama dialami pula oleh pemimpin-pemimpin partai Golongan Agama dan Nasional.
Studio RRI Madiun berhasil diduduki oleh kaum pemberontak dan dipergunakan sebagai corong propaganda kaum pemberontak. “Radio Gelora Pemuda” milik PESINDO dijadikan pula trompet kaum komunis. Pada tanggal 19 September 1948, Amir Syarifuddin dan Suripno telah mengadakan pidato-pidato melalui Radio Gelora Pemuda itu, bahkan dalam kesempatan itu jenderal Mayor (PKI) Joko Suyono telah melakukan suatu panggilan/seruan kepada para Komandan Pasukan TNI-AD yang akan membebaskan Madiun dari cengkeraman pihak Komunis untuk datang ke Madiun guna berunding dengan jaminan “Kemerdekaan”. Akan tetapi tipu muslihat kaum pemberontak itu tidak dihiraukan samasekali oleh para Perwira TNI-AD yang taat kepada Republik Indonesia.
Operasi Penumpasan PKI – Muso
Dibantu beberapa batalion dari Jatim yang bergerak dari arah timur, pasukan Siliwangi dari Brigade Sadikin mulai bergerak melakukan pengejaran dari solo menuju Madiun. Brigade Kusno Utomo dari arah selatan. Deadline untuk membereskan pemberontakan diberikan selama 14 hari, tetapi kurang dari seminggu daerah2 yang telah dikuasai komunis dapat dikuasai kembali.
Dalam usaha menghancurkan serta menumpas pemberontakan PKI-Muso di Madiun itu, maka angkatan Perang RI diperintahkan untuk segera bergerak dengan mengerahkan segala kekuatan yang ada padanya. Pasukan yang dapat dikerahkan di Jawa Tengah untuk menumpas PKI hanya terdiri dari KRU Divisi Siliwangi, yaitu Brigade Sadikin dan Brigade Kusno Utomo. Kedua pasukan ini ditugaskan untuk mengepung dan menyerang Madiun dari arah Barat, sedangkan dari arah timur Madiun akan digerakan Brigade Surakhmad.
Operasi dari arah timur ini dipimpin langsung oleh Kolonel Sungkono, sedangakan sebagai pelaksana operasi ditunjuk Mayor Yonosewoyo. Operasi ini dilancarkan dari tiga jurusan :
a.  Batalyon Sabirin Mokhtar dan Mujayin bergerak melalui Trenggalek langsung menyerbu Ponorogo yang merupakan konsentrasi pasukan PKI yang kuat.
b.  Batalyon gabungan dibawah pimpinan Mayor Sabrudin, bergerak melalui sawahan, Dungus terus ke Madiun.
c.  Batalyon Sunaryadi dengan dibantu oleh Brigade Mobil Polisi Jawa Timur yang bergerak melalui kota Wilangan menerobos Saradan terus ke Madiun.
Dalam waktu yang bersamaan Brigade Sadikin dengan bantuan sebagian dari pasukan Panembahan Senopati dan pasukan MA Yogya mengepung dan menyerang Madiun dari barat melalui tiga jurusan :
a.  Poros Brigade 13, dengan kekuatan Batalyon Akhmad Wiranatakusumah dan Batalyon Sambas sebagai tenaga cadangan, bergerak dengan route Surakarta-Karanganyar-Tawangmangu-Sarangan-Plaosan-Magetan-Maospati-Madiun. Ditawangmangu mendapat bantuan dari Kompi R pasukan MA. Satu peleton diantaranya terus mengikuti operasi Siliwangi sampai ke Madiun.
b.  Sebagai sayap kiri brigade, Batalyon Sentot ditugaskan merebut Ngawi dengan Route Surakarta-Sragen-Walikukun-Ngawi, sedangkan Batalyon Umar Wirahadikusumah ditugaskan untuk menguasai garis Walikukun-Ngrambe-Magetan. Pada sayap kiri di perbantukan pula Batalyon Sumadi dari Panembahan Senopati, dan kompi gabungan Hizbullah dan Barisan banteng.
c.  Sayap kanan diisi oleh Batalyon Nasuhi, Batalyon Husinsyah dan Brigade V/Slamet Riyadi. Nasuhi ditugaskan merebut Pacitan dengan route Surakarta-Wonorigi-Batu Retno-Pacitan. Sedangkan Husinsyah meneruskan gerakannya ke Ponorogo, pada Batalyon Nasuhi diperbantukan pasukan MA Kompi S, sedangkan Kompi U bergerak dari Yogyakarta mengambil route Yogya-Wonosari-Pracimantoro-Pacitan.
Selain daripada itu Batalyon A. Kosasih dan Batalyon Kemal Idris yang didatangkan dari Yogyakarta, bergerak ke arah utara dengan tujuan Pati, Batalyon Daeng juga bergerak ke arah utara dengan tujuan Cepu dan Blora, sedangkan Batalyon Akhmad Wiranatakusumah bergerak ke arah selatan dengan tujuan Ponorogo. Batalyon Darsono langsung bergerak ke Madiun.
Brigade Kusno Utomo mendapat tugas khusus untuk mengamankan daerah Surakarta, Pati dan Semarang, terdiri atas Batalyon Kemal Idris dan Batalyon Kosasih dengan mendapat bantuan dari Batalyon Suryosumpeno. Di kalangan para Putera Siliwangi yang diserahi pertahanan Jawa Barat yang kemudian dihijrahkan ke daerah Republik, sebetulnya dikala itu sudah timbul suatu kepercayaan/keyakinan didalam hati mereka, bahwa merekalah yang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi tulang punggung negara dan pelindung negara terhadap musuh-musuh dari dalam dan luar.
Kepada Siliwangi diberikan tugas untuk melakukan tembusan-tembusan pertama dari arah barat ke kota Madiun, sedangkan pasukan-pasukan yang berada di daerah Kediri bergerak dari arah timur Batalyon “Kian Santang” akan bergerak sebagai “Stoot batalyon” dan menurut rencana, batalyon inilah yang pertama-tama harus memasuki Madiun.
Sebagian dari pasukan pemberontak yang dahulu termakan oleh hasutan-hasutan pihak PKI untuk menentang Pemerintah Republik Indonesia, menjadi insyaf kembali dan memberi bantuan kepada satuan-satuan Siliwangi yang bergerak ke Madiun.
Sementara itu, semenjak terjadinya pemberontakan PKI-Muso Angkatan Udara RI-pun membantu dengan giatnya dengan menyelenggarkan perhubungan antara Yogyakarta dan Jawa Timur. Setiap hari beribu-ribu surat selebaran Kementrian Penerangan RI dijatuhkan dari Udara diatas wilayah-wilayah yang dikacaukan oleh kaum pemberontak. Pasukan PKI pada umumnya hanya memberikan perlawanan kecil-kecilan saja. Perlawanan yang berarti hanya terjadi di Cepu, dimana Pabrik minyak sampai 4 kali beralih tangan. Cepu jatuh pada tanggal 5 Oktober dan pertahanan terakhir PKI, Blora, jatuh pada tanggal 13 Oktober 1948.
Dalam gerakan selanjutnya, perlawanan yang agak sengit dialami di Ngerong. Pertempuran-pertempuran mulai berkobar pada tanggal 21 September 1948 pukul 13.00 sampai tanggal 25 September pukul 06.00. Akhirnya Ngerong dan Plaosan dapat dikuasai setelah serangan yang merupakan daerah pertahanan yang diperkuat oleh PKI (Muso dan Amir Syarifuddin ada disini). Dapat dibebaskan/direbut oleh Batalyon II/Tarumanagara pimpinan Mayor Sentot Iskandardinata.
Batalyon datang dari belakang, yaitu dari daerah/medan yang menurut perhitungan PKI tidak mungkin untuk dilalui. Akan tetapi dengan tekad dan semangat yang menyala-nyala, maka dari sinilah serangan dilancarkan dengan mengerahkan Kompi II Amir Machmud, Kompi IV A.W.Somali, Kompi III Komir Kartaman, dan Kompi I Lili Kusumah. Hanya sayang sekali Muso dan Amir Syarifuddin berhasil meloloskan diri. Gerakan kemudian dilanjutkan ke Magetan dan berhasil menangkap beberapa gembong PKI-Muso disini. Setibanya di Walikukun pasukan kemudian dibagi dua, yaitu sebagian bergerak ke arah Ngrambe sedangkan sepasukan lagi menuju ke Ngawi.
Ngrambe yang menjadi pusat dari percaturan politik dan Militer kaum pemberontak, berhasil dikuasai oleh Batalyon Lukas dan Batalyon Sentot Iskandardinata pada tanggal 26 September 1948. Sementara itu kaum pemberontak telah meledakan jembatan yang berada 10 kilometer utara Ngawi, sehingga gerakan Siliwangi menjadi sedikit terhalang karenanya. Di Jawa Timur, dalam pada itu telah berhasil disergap ex Letnan Kolonel Dakhlan bekas Komandan Brigade 29 yang membantu kaum pemberontak, Kusnandar seorang tokoh dari pasukan PESINDO dan Atmaji seorang bekas pimpinan ALRI yang sangat giat meracuni anggota-anggota APRI.
Dengan hasutan-hasutan terhadap pemerintah Republik Indonesia di selatan Magelang, gerombolan pemberontak bersenjata telah melarikan diri ke daerah pegunungan sekitar Sawangan. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian 4 orang dari pihak tentara gugur, sedangkan pihak pemberontak menderita kerugian yang amat besar dan meninggalkan banyak senjata dan peluru. Pengejaran dilakukan terus terhadap mereka.
Yon Nasuhi ditempatkan sebagai sayap kanan Brigade XIII/ Sadikin yang ditugaskan untuk membersihkan daerah Surakarta selatan dari unsur-unsur PKI dan merebut Pacitan Batalyon ini mempunyai 5 kompi, yakni Kompi Kaharuddin Nasution, Kompi Witono, Kompi Sutikno Slamet, Kompi senjata Berat Mung Parhadimulyo dan Kompi Solihin.
Tanggal 21 September 1948 Brigade 29 yang berkedudukan di Kediri berhasil dilumpuhkan dan dilucuti yang menyebabkan larinya Batalyon Maladi Yusuf (pro-Muso) yang pada waktu itu berada di Ngadi Rejo. Pertempuran-pertempuran berlangsung dengan sengitnya diberbagai sektor. Sehari sesudah pasukan-pasukan Siliwangi menduduki kota Madiun, Batalyon-batalyon Sunarjadi dan Sabarudin memasuki kota.
Pertahanan-pertahanan kaum pemberontak dimana-mana hancur berantakan, sehingga taktik ofensief dialihkan ke taktik pembersihan dan pengejaran. Kehancuran-kehancuran ini akhirnya diikuti dengan timbulnya perpecahan di kalangan para pemimpin kaum pemberontak PKI-Muso sebagai akibat daripada ketidak adanya persesuaian faham.
Dalam suatu pertempuran, Muso yang menjadi gembong utama dari pemberontakan Madiun tertembak mati di Desa Kanten/ Ponorogo dan mayatnya kemudian dibakar rakyat di alun-alun saking gemasnya. Pada permulaan Desember 1948, sewaktu gembong-gembong berontak berusaha untuk menggabungkan diri dengan kesatuan pemberontak yang berada di daerah Pati, mereka terjebak oleh pasukan-pasukan Siliwangi dan menyerahkan diri.
Diantara mereka itu terdapat antara lain :
a.    Mr. Amir Syarifuddin
b.    Suripno
c.    Haryono dari SOBSI
d.    Mr. Abdul Majid serta lain-lainnya.
Polemik
Memang selama fase hijrah yang disertai polemik itu, pasukan Siliwangi menjadi andalan utama pemerintahan Hatta dalam membangun strategi pertahanan-keamanan, termasuk untuk menghentikan aksi sepihak Front Demokratik Rakyat (FDR) yang ditulangpunggungi oleh PKI di Madiun pada September 1948 itu. Pada 30 September 1948, pasukan Siliwangi yang dipimpin Brigade Sadikin dan Kusno Utomo dan dari Batalyon Kiansantang berhasil menguasai Madiun.
Akhirnya Muso dapat ditembak mati dan pimpinan lainnya seperti seperti Amir Syafruddin ditangkap dan dihukum mati sebelum Yogya jatuh kepada Belanda dalam agresi militer kedua pada Desember 1948.
Dengan dalih yg dibuat-buat, Belanda melancarkan agresinya pada 19 Desember 1948 ke Yogya dan menahan Soekarno Hatta.
Long March Siliwangi
Belum lagi putra-putra Siliwangi melepaskan lelahnya setelah melaksanakan operasi penumpasan terhadap PKI Muso, tiba-tiba saja pihak Belanda melancarkan agresi militer ke II terhadap Ibu Kota RI Yogyakarta. Pihak Belanda mengatakan kepada komisi jasa PBB, bahkan pihaknya mulai tanggal 19 Desember 1948 pukul 00.00 waktu Jakarta tidak lagi merasa terikat oleh perjanjian Renville yang sebenarnya telah begitu menguntungkan pihaknya. Pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 05.30 Lapangan terbang Maguwo dibom oleh pesawat-pesawat pembom Mitchel B-25 yang di ikuti penerjunan satu Batalyon pasukan baret Hijau yang ditugaskan untuk merebut lapangan terbang tersebut. Belanda mengerahkan sejumlah kurang lebih 135.600 (?) orang tentara dengan perlengkapan modern bantuan dari “Marshal Plan” Amerika-Serikat.
Setelah Yogyakarta dikuasai Belanda lewat Agresi Militer II, pasukan Siliwangi mematuhi perintah Soedirman untuk mengundurkan diri ke luar kota Yogyakarta. Dari pinggiran kota Yogyakarta itulah, Divisi Siliwangi ikut menggelar perlawanan gerilya. Panglima Besar Soedirman dan TRI juga memilih untuk bergerilya dan memerintahkan kepada Siliwangi untuk kembali ke kantong2 gerilya-ya di Jawa barat. Pada tanggal 9 Nopember 1948 itulah Panglima Besar Soedirman mengeluarkan Instruksi No. 1 yang dikenal dengan “PERINTAH SIASAT NO. 1”. Keputusan itu disambut suka cita, walaupun pasukan Siliwangi harus melakukan perjalanan kaki melewati banyak rintangan pertempuran.
Tetapi maung2 Siliwangi tidak pernah takut dan menyerah, baik itu melawan rintangan alam ataupun hadangan agresor Belanda. Suatu penetrasi jarak jauh secara besar2an menuju daerah kekuasan lawan dengan berjalan kaki secara gerilya melewati kampung-kampung, gunung, sungai, dan lembah sejauh lebih kurang 700 km. Maka pada tahun 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi ke tempat asalnya, menuju kampung halamannya.
Rencana Long March Siliwangi telah disusun rapih dan sudah disalurkan berupa perintah hingga tingkat Batalyon dan disusun sebagai berikut :
1. Brigade Sadikin menuju Jawa Barat sebelah utara.
2. Brigade Syamsu menuju daerah Tasikmalaya, Garut dan Ciamis.
3. Brigade Kusno Utomo menuju daerah Bandung, Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
4. Batalyon Ahmad Wiranatakusumah bertugas sebagai pengawal staf divisi Siliwangi dan berangkat paling akhir.
Namun karena keadaan medan Jawa Barat tidak mengijinkan akibat adanya pengacauan oleh apa yang menamakan dirinya Darul Islam Kartosuwiryo maka tujuan yang telah ditetapkan itu tak dapat dipertahankan. Batalyon Ahmad Wiranatakusumah di Bandung Selatan, Batalyon Kemal Idris di daerah kabupaten Cianjur.
Batalyon A. Kosasih ke daerah Sukabumi dan Bogor, Batalyon Rukman ke daerah Cirebon dan Kuningan, Batalyon Dharsono ke daerah Karawang, Batalyon Lucas ke daerah Cikampek, Batalyon Sudarman ke daerah Tasikmalaya Utara, Batalyon Nasuhi ke daerah Ciamis dan Batalyon Riva’i ke daerah Majalaya hingga perbatasan Garut. Pada umumnya Batalyon-Batalyon Siliwangi itu kembali ke daerah-daerah gerilya mereka sebelum hijrah.

Batalyon Rukman dan nampak ada yang menggunakan seragam frogskin camo

Rute dan Pertempuran di Perjalanan
Pada umumnya gerakan kembali ke Jawa Barat, dimulai dari garis Demarkasi dan melalui 3 jalur menyusuri pantai Utara, pantai selatan dan jalur tengah.
a.   Jalur pantai Utara :
Mulai dari Wonosobo, Banjarnegara, Gunung Slamet, daerah Slawi, Salam, Subang Kuningan, Gunung Ciremai, Majalengka, Sumedang, Subang, Purwakarta, Karawang dan Bekasi.
b.   Jalur Tengah :
Mulai dari Wonosobo, Banjarnegara, daerah Purwokerto, Bumi Ayu, Rancah, Kawali, Sindangbarang, Pagerageng, Gunung Galunggung, Kab. Garut, Kab. Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi dan Bogor.
c.   Jalur pantai Selatan :
Mulai dari daerah Yogya, Wates, Purworejo, Kebumen, Gombong, Kab. Cilacap daerah Kalipucang, daerah Ciamis, daerah Salopa, Kab. Tasikmalaya-Singaparna, Taraju Garut, daerah Majalaya, Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
Jalur Tengah dan Selatan
Pergerakan hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah ke Jawa Barat yang meliputi kekuatan 3 Brigade dan 14 Batalyon bersama keluarga selama 11 bulan sebagai berikut :
1.  Rute Brigade XII (Letkol Kusno Utomo) berikut Batalyon-batalyon
a.  Rute Brigade XII (Letkol Kusno Utomo) + 405 Km (Mendut s/d Parigi).
b.  Rute Batalyon (Mayor R.A. Kosasih) + 450 Km (Magelang s/d Bogor).
-    Diperbatasan Magelang terjadi pertempuran melawan Belanda.
-    Pemboman oleh pesawat terbang Belanda di Salem.
-    Penjebakan yang gagal oleh DI-TII di Bantarujeg/Lemah Putih.
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Cileunyi.
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Banjaran.
c.  Rute Batalyon II/ Kala Hitam (Mayor Kemal Idris) + 420 Km (Yogya s/d Cianjur).
-    Pemboman oleh pesawat terbang Belanda di Bantar Kawung.
-    Pemboman oleh pesawat terbang Belanda di sekitar Gunung Ciremai.
-    Penjebakan yang gagal oleh DI-TII di Lemahputih
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Leles/Cicalengka.
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Ciwidey.
d.  Rute Batalyon (Mayor Achmad Wiranatakusumah) + 465 Km.(Solo s/d Malabar).
-    Sebagai Pasukan Pengawal Staf Divisi Siliwangi.
-    Solo – Prambanan = Jalan kaki
-    Prambanan – Bandung = Jalan kaki.
-    Pertempuran melawan Belanda
-    Tiba di Tasikmalaya menuju basis Gunung Puntang.
e.   Rute Batalyon IV (Mayor Daeng) + 375 Km (Yogya s/d Bandung).
-    Pertempuran melawan Belanda di Wonosobo
-    Pertempuran melawan Belanda di Kawali.
2.  Rute Long March Siliwangi Brigade XIII (Letkol Sadikin)
Berikut Batalyon-batalyonnya.
a.   Rute Brigade XIII Siliwangi (Letkol Sadikin) + 285 Km Wonosobo s/d Surian Sumedang.
b.   Rute Batalyon Tajimalela (Mayor Lukas K) + 540 Km (Widodaren s/d Cikampek).
-   Setelah gagal dalam Operasi Penyerangan Sungai di Jembatan Kebasen Rawalo  kembali mengambil rute lewat Gunung Slamet menuju Jawa Barat.
-    Pertempuran melawan Belanda di Gunung Slamet.
-    Konsolidasi Batalyon sebelum Operasi Penyebrangan.
-    Posko Batalyon di Ciseuti.
c.  Rute Batalyon II/Tarumanegara (Mayor Abdurrahman) + 285 Km (Wonosobo s/d Sumedang).
-    Pertempuran Si 1 / Ki 1 dari Kr. Kobar, Ki 2 didesa Kedawung, Ki 4 di Cinusa dan Si 1 di Cinusa.
-    Serangan udara Belanda di Kaligus Gunung Slamet.
-    Kanonade sebelum Bantarkawung.
Menyerang Pos Belanda di Lemah Putih yang berkekuatan 1 Kompi lengkap dan diperkuat beberapa brencarrier. Belanda terdesak mundur dan menderita korban mati dan luka.
-    Posko Batalyon di Finish Babakan Pari Sumedang.
d.  Rute Batalyon 301 / Prabu Kiansantang. + 360 Km (Banjarnegara / Purwakarta).
-    Pertempuran melawan Belanda
-    Posko Batalyon.
3.   Rute Long March Siliwangi Brigade XIV (Letkol Syamsu) berikut Batalyon-batalyonnya.
a.   Rute Brigade XIV Siliwangi (Letkol Syamsu) + 315 Km (Magelang s/d Ciparay  Kab. Bandung).
b.   Rute Batalyon Nasuhi (Mayor Nasuhi) + 300 Km (Magelang s/d Malangbong Garut).
-     Dibombardir di Wonosobo (17 anggota hilang).
-   Pertempuran melawan Belanda di Cijolang beberapa anggota gugur/lika-luka, di Rancah (1 regu gugur), Ki A melawan Belanda di Teluk Jambe, di Sukamatri Panjalu Ciamis (Kapten Musad Idris dan Letnan Neman / pembawa Panji Siliwangi gugur).
c.   Rute Batalyon 2 (Mayor Sudarman) + 195 Km (Magelang s/d Banjar Ciamis)
-     Pertempuran melawan Belanda.
d.   Rute Batalyon 3 / Garuda Hitam (Mayor Rivai) + 315 Km (Magelang s/d  Majalaya Kab. Bandung ).
-     Pertempuran melawan Belanda.


Jalur Utara
Batalyon Rukman adalah perintis Long March Divisi Siliwangi, serta satu-satunya Batalyon yang sebelum Aksi Kedua berhasil menyusup ke daerah pendudukan (Jawa Barat bagian Utara), menerobos garis demarkasi yang dijaga ketat oleh Divisi Tentara Belanda Pasukan Batalyon Rukman ini berhasil menduduki daerah yang luas di Keresidenan Cirebon, menyatu dengan Rakyat dan menjadi beach-head pada waktu terjadi peristiwa Long March.
Daerah kekuasaan Batalyon Rukman dijadikan tempat kedudukan Gubernur Jawa Barat yang dijabat oleh Ir. Ukar Bratakusumah, serta markas Kolonel Abimanyu (Komandan Divisi Siliwangi yang diangkat oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman). Batalyon Rukman berkembang menjadi tiga Batalyon, yaitu Batalyon Mustopa berkedudukan di Kuningan, Batalyon Machmud Paksya berkedudukan di Cirebon (termasuk didalam kota) dan Batalyon Sentot, berkedudukan di Indramayu. Ketiga Batalyon inilah yang menjadi Brigade A, dengan Komandan Brigade Letnan Kolonel Rukman.
Tanggal 22 Desember 1948, di daerah Sukowaluh (masuk wilayah Purworejo) sepasukan Tentara Belanda dari Kesatuan Batalyon “Anjing NICA” berhasil menangkap Letkol Daan Jahja Kepala Staf Divisi Siliwangi, dan selaku penanggung jawab gerakan Long March dari seluruh divisi beserta Mayor Daeng Mohamad-Komandan Batalyon “Guntur”, Kapten Pirngadi Perwira Staf Siliwangi, dan Sersan Mayor Soemitro Ajudan Komandan Batalyon “Guntur”.
Letnan Resdan Komandan Peleton Pengawal Staf Batalyon “Guntur” beserta beberapa orang prajurit gugur, saat melakukan perlawanan. Berikutnya terjadi penyergapan Tentara Belanda terhadap Kompi Sjafei di daerah Arjasari Banjaran, meminta kurban 36 orang gugur.
Mayor Oetara selaku Perwira Staf Brigade XIV/ Siliwangi, menerima perintah atasan untuk mengadakan perundingan dengan pihak DI-TII di daerah Cigalontang. Beliau dikawal oleh satu regu prajurit Siliwangi, dan diantar oleh Adah Djaelani “Bupati DI-TII”. Perundingan berlangsung dengan SM. Kartosoewirjo yang didampingi oleh Oni dan Sjaefullah pembantu-pembantu dekat SM. Kartosoewirjo. Ternyata perundingan gagal, tidak mencapai kesepakatan untuk bekerjasama mengusir Tentara Belanda. Satu regu TNI pengawal Mayor Oetarja dilucuti senjatanya, sedangkan Mayor Oetarja sendiri ditahan, yang kemudian  dieksekusi, dengan cara ditelanjangi terlebih dahulu, yang kemudian ditebas kepalanya didepan lubang lahat yang sudah disediakan.
Dalam perjalanan pulang kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat pasukan Siliwangi mendapatkan hambatan dari DI/TII Kartosuwiryo. Di Priangan Timur banyak prajurit Siliwangi yang jatuh dalam jebakan-jebakan pasukan DI/TII yang diracun dan disergap, untuk ditawan atau dibunuh setelah melalui penganiayaan yang tiada berperikemanusiaan.
Pengorbanan yang besar dan tidak dapat diukur dengan apapun juga saat ini, karena selain Belanda ternyata di Jabar telah ada pasukan DI/TII pimpinan SM Kartosuwiryo. Lagi-lagi Siliwangi harus berada di garda depan untuk memberangus musuh republik.

Sumber : http://www.kodam-slw.mil.id/

6 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Lengkap makasih jadi muda kerjak an tugas

    BalasHapus
  3. Pada akhir th 1954, kota ciamis
    diserang oleh gerombolan DI/TII,
    saya baru berumur 8 th kelas 2 SR Bebedilan,pada pagi hari menyaksikan 2 orang pemuda yg disembelih oleh gerombolan DI/TII bergelimpangan didepan
    warung kadu bojonghuni,rasa ngeri
    yg sangat mencekam atas kekejaman itu berlanjut sampai beberapa kasus pembunuhan berpuluh puluh rakyat yg tak berdosa dan pembakaran rumah rakyat, adakalanya hingga sebuah kampung
    rata jadi tanah seperti yg saya saksikan di cibeureum panumbangan
    dikala itu yg sangat mengerikan
    tatkala melihat 2 rangka seorang
    ibu dan anaknya yg hangus terbakar,peristiwa itu membekas
    menjadi trauma seumur hidup,waktu
    itu th 1958 saya berumur 12 th di
    Sr 2 Sukakerta.

    BalasHapus
  4. Pengorbanan Semua demi Kemerdekaan dan merah putih

    BalasHapus
  5. Ayahku menjadi bagian dr prajurit Siliwangi yg hijrah dan longmarch dlm perjuangan ini... Sebagian cerita beliau alm dlm perjuangan mempertahankan republik langsung disampaikan pdku...

    BalasHapus